1. Kantong
Semar
Di dalam kantung tumbuhan “kantong-semar“ Nepenthes bicalcarata
yang hidup di sebelah India Timur, hiduplah koloni semut. Tumbuhan ini
bentuknya seperti teko dan memangsa serangga yang menghinggapinya. Meskipun
demikian, semut bebas bergerak dan mengambil sisa-sisa serangga dan bahan
makanan lainnya dari tumbuhan ini.
Kerja sama ini menguntungkan kedua belah pihak, semut dan tumbuhan. Meski semut mungkin saja dimakan Nepenthes, mereka dapat membangun sarang pada tumbuhan ini. Sang tumbuhan juga menyisakan jaringan tertentu dan sisa-sisa serangga untuk semut. Dan sebagai balasannya, semut melindungi tumbuhan dari musuhnya.
Begitulah contoh hubungan kehidupan antara tumbuhan dan semut. Bentuk anatomi dan fisiologi semut dan tumbuhan inangnya telah dirancang sedemikian rupa untuk memudahkan hubungan timbal balik antara keduanya. Meskipun para pembela teori evolusi menyatakan bahwa hubungan antarjenis makhluk hidup ini berkembang secara berangsur-angsur selama jutaan tahun, tetapi tentu saja pernyataan yang mengatakan bahwa dua makhluk yang tidak memiliki kecerdasan ini dapat sepakat merencanakan suatu sistem yang menguntungkan kedua belah pihak tidaklah masuk akal. Lalu, apa yang menyebabkan semut hidup pada tumbuhan?
Semut cenderung tinggal pada tumbuhan karena adanya cairan bernama “nektar tersisa” yang dikeluarkan tumbuhan. Cairan nektar ini merupakan daya tarik bagi semut untuk mendatangi tumbuhan. Banyak spesies tumbuhan yang terbukti mengeluarkan cairan ini pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, pohon ceri hitam menghasilkan cairan ini hanya tiga minggu dalam setahun. Tentu pengeluaran cairan pada waktu ini bukan kebetulan karena waktu tiga minggu ini bertepatan dengan satu-satunya waktu sejenis ulat menyerang pohon ceri hitam. Semut yang tertarik pada nektar dapat membunuh ulat ini serta melindungi tumbuhan.
Pada gambar, kita dapat melihat tumbuhan kantong semar sebagai “perangkap serangga”. Namun, serangga-serangga tertentu lolos dari jebakan tumbuhan kantong semar. Misalnya, semut dapat hidup berdampingan dengan kantong semar. Secara ajaib, tumbuhan ini tidak mempedulikan keberadaan semut.
Hanya dengan menggunakan akal sehat, kita dapat
melihat bahwa hal ini adalah bukti hasil penciptaan. Akal sehat tidak mungkin
bisa menerima bahwa pohon ini dapat memperhitungkan kapan bahaya akan menyerang
lalu memutuskan bahwa cara terbaik untuk melindungi dirinya adalah dengan cara
menarik perhatian semut serta mengubah struktur kimianya. Pohon ceri tidak
punya otak. Oleh karena itu, ia tidak dapat berpikir, memperhitungkan, maupun
mengubah campuran kimianya. Bila kita menganggap bahwa cara cerdas ini adalah
sifat yang diperoleh dari suatu kebetulan, yaitu dasar berpikir evolusi, tentu
ini tidaklah masuk akal. Jelas sekali bahwa pohon ini telah melakukan sesuatu
yang didasarkan pada kecerdasan dan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, satu-satunya kesimpulan yang dapat kita tarik adalah bahwa sifat tumbuhan ini telah terbentuk karena adanya sebuah Kehendak yang telah menciptakannya. Bila kita merujuk pada segala bentuk pengaturan yang dibuat-Nya, jelas sekali bahwa Dia tidak hanya berkuasa atas pohon, tetapi juga atas semut dan ulat. Jika penelitian dilakukan lebih jauh lagi, tentunya dapat diketahui bahwa Dia berkuasa atas semesta alam dan telah mengatur setiap bagian alam secara terpisah namun serasi dan selaras, sehingga membentuk sebuah rangkaian sempurna yang kita kenal sebagai “keseimbangan ekologi”.
Bila kita berpikir lebih jauh dan meneliti bidang-bidang lain, seperti geologi dan astronomi, kita akan sampai pada gambaran yang serupa. Ke mana pun kita melangkah, kita akan menyaksikan berjuta sistem yang berfungsi dengan selaras dan teratur sempurna. Semua sistem ini menunjukkan keberadaan Sang Pengatur. Meskipun demikian, tidak satu pun unsur pembentuk alam ini yang mampu berfungsi sebagai Sang Pengatur itu. Oleh karena itu sang pengatur haruslah Dia Yang Maha Tahu dan Mahakuasa atas alam semesta.
Sumber:
larashati.wordpress.com
2. Buah
Mahkota Dewa.
Buah
mahkota dewa (phaleria macrocarpa) dikenal ampuh untuk mengobati berbagai jenis
penyakit. Tanaman yang berasal dari Jawa ini ternyata juga sangat potensial
untuk dikembangkan di Sumut. Karena potensi itulah Nuraini adalah salah seorang
yang meyakini, buah mahkota dewa dengan agroklimat Sumut memiliki khasiat lebih
baik jika dibandingkan dengan buah yang berasal dari Yogyakarta. “Buah yang
berasal dari Yogya dagingnya berongga sedangkan kalau yang dari Sumut lebih
padat,” ujar Nuraini.
Ia
menggeluti usaha budidaya buah mahkota dewa ini sejak empat tahun lalu.
Dilatarbelakangi berbagai penyakit yang diderita suaminya. Karena mahalnya
biaya pengobatan, akhirnya ia mencari perobatan alternatif yang bisa berlaku
efektif. Bersama sang suami, ia pun melakukan berbagai upaya, termasuk mengonsumsi
buah mahkota dewa. Ternyata hasilnya sangat efektif, kadar gula suaminya bisa
menurun drastis.
Selain
melihatnya sebagai sebuah peluang bisnis, Nuraini juga ingin membantu pesakitan
yang tidak mampu melakukan pengobatan karena mahalnya biaya. Untuk itu ia
mencoba mengembangkan tanaman mahkota dewa ini dengan memanfaatkan pekarangan
rumahnya yang cukup luas, 1.000 m2 dikurangi dengan luas bangunan 135 m2.
Untuk
memperoleh bibit mahkota dewa ini ia memesan secara khusus buah segar dari
Yogyakarta. Setelah satu tahun ternyata buah ini sudah mulai produksi. Secara
perlahan ia mulai menambah tanaman lagi hingga kini paling tidak ada 120
tanaman yang mengelilingi pekarangan rumahnya.
Demi
memudahkan pengutipan buah, ia selalu memangkas hingga tingginya tidak lebih
dari 1,5 meter. Produksinya sepanjang tahun. Setiap bulan, paling tidak ia bisa
mengumpulkan 40 kg buah segar atau 8 kg buah yang telah dikeringkan.
Menurut guru Bahasa Inggris SMPN 1 ini, budidaya tanaman mahkota dewa relatif mudah. Biji yang telah disemai dan siap ditanam ini ditempatkan dalam lubang dengan media pupuk kandang sebanyak 2 kg. Ia memang sengaja hanya menggunakan pupuk kandang. Apalagi tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia ada peternakan sapi sehingga memudahkannya untuk memperoleh kotorannya.
Dalam
melakukan perawatan, Nuraini mengaku tidak mengalami kendala yang berarti.
Tanaman tumbuh dengan baik tanpa perlakuan khusus. “Paling hanya penyiraman
pada saat musim kemarau. Saat usianya memasuki satu tahun, tanaman ini pun
sudah mulai produksi,” jelasnya.
Satu-satunya
hama adalah semut. “Tetapi semut ini langsung saya kendalikan dengan
insektisida,” katanya. Dijelaskan Nuraini, ketika buah mulai tua dengan
semburat warna merah, buah dikumpulkan untuk dilakukan pengolahan. Buah-buah
ini diiris tipis, dijemur hingga kering. Saat cuaca panas, pengeringan ini
memakan waktu hingga tiga hari. Setelah warnanya berubah kecoklatan, barulah
buah ini dikemas dalam kantong plastik kapasitas setengah ons dan dijual dengan
harga Rp 10.000.
Ramuan ini
diyakini mampu mengobati berbagai jenis penyakit, di antaranya menurunkan kadar
gula. “Cara mengonsumsinya cukup mudah, buah mahkota dewa yang telah kering ini
diseduh dengan air panas, baru diminum,” jelas Nuraini.
Makota dewa ini bermanfaat untuk mengobati
kanker, diabetes, sakit jantung, hipetensi, bahkan lemah Syahwat Selain mahkota
dewa, saat ini ia juga sedang berupaya untuk mengembangkan tanaman murbei.
Setelah dikeringkan, daun murbei diyakini mampu mengobati berbagai penyakit
seperti sakit kepala sebelah (migran), gigi, menurunkan kadar gula, ngilu
tulang, menurunkan kadar kolesterol dan berbagai jenis penyakit lainnya.
No comments:
Post a Comment