My Dream
Tak bolehkah aku
berharap.....???? Bukankah berharap adalah hak setiap orang????? Aku..... ingin
berharap...... Agar waktu ini bisa berhenti dan diputar ke masa lalu....
Terlalu berharapkah aku?????
“Aikiko Fukuda!”
DEGH! “I... Iya????”, jawabku
tergagap. Barulah kutersadar dari lamunanku. Aku mencoba mengumpulkan
kepingan-kepingan ingatanku. Ini hari Minggu. Pukul 9 pagi. Oh ya..... Aku
sedang sarapan di asrama liburan yang kubenci! “Hahahahaa......”, semua orang
yang berada di ruangan itu menertawakanku! Sialan! “Apa yang kau lamunkan, sih,
Fukuda?”, tanya Bu Wina, guru yang terkenal sebagai guru tergalak yang pernah ada di Aquila sekaligus guru yang tadi
membuatku tersadar. Ya, nama asrama ini adalah Asrama Liburan Aquila. “Saya hanya
mengingat-ingat sarapan tiap pagi di rumah saya. Apa itu salah, Bu?”, jawabku
yang bertujuan menyudutkan Bu Wina. Semua murid terperangan heran plus kaget.
Tapi, tidak halnya dengan Bu Wina. “Ti... tidak, Fukuda!”
Lalu, tanpa
memedulikan yang lain, aku melanjutkan makanku. Aku tidak BERBOHONG SAMA
SEKALI. Sebelumnya, aku memang mengingat menu sarapan di rumahku. Jadi, tolong
katakan dengan jujur, apakah aku 100%
jujur, 50% jujur, atau 0% jujur???? Hm? Nyem...
nyem... glup! Aku tetap melanjutkan menikmati sarapanku. Hei.... kok keadaannya
sepi-sunyi? Aku melihat ke seluruh penjuru ruangan. APA? Kok... Aku dilihat
dengan tatapan aneh gini?! Sama ‘teman-teman’ yang tak kukenal juga dengan Bu
Wina!?
“Apa?”, tanyaku
sinis dan tajam. “Stop looking me like
that, okay? Aku tak ingin dijadikan sebagai bahan pertunjukkan, you all know?Kalau kalian tak mau
melahap sarapan kalian, ya sudah! OKAY!?” Lalu, tanpa diperintah, aku
melanjutkan melahap sarapanku.... LAGI. Aah, selesai juga....
“Bu Wina! Saya
ijin ke kelas musik dulu karena saya sudah selesai menyantap sarapan saya!”,
ijinku seraya berdiri. Kulihat semua masih saja seperti tadi: melongo,
menatapku aneh, dan tidak menyentuh menu sarapan mereka, SAMA SEKALI. Menyedihkan.
Aku melangkah keluar ruang makan Orchird karena tadi Bu Wina sudah mengangguk.
Begitu aku
berjalan keluar, yang kudengar.... Yah... Bisik-bisikkan murid lain.
“Anak itu aneh
sekali!”
“Ya! Dia...”
“Psshhhtt!!!!
Dia masih belum jauh!!!!”
“...”
“Dia sepertinya
merendahkan kita!!!!”
“Iya!
Mentang-mentang hanya karena dia seperti....”
“Mei...”
“Ya.... Mei
Misaki....”
“Mei Misaki?”
“Psstt...! Ya...
Mei Misaki dari anime Another itu!”
“......”
Dan
bisikkan-bisikkan lainnya. Sudahlah. Itu semua takkan kuhiraukan. Seharusnya
mereka semua malu. Mengejek orang dari belakang. Dasar pengecut, ejekku. “Nobody
perfect...”, ucapku dalam perjalananku menuju kelas. “I have try to be a
perfect butler you, Master. But nobody can be perfect.”, aku melanjutkan
seperti yang diucapkan tokoh Sebastian dalam anime Black Butler....
****
“Oke. Siapa yang
mau mencoba dulu?”, tanya Kak Mio, seorang mahasiswa jurusan kesenian yang
mengajar di kelas musik A.L Aquila ini. Kulihat tak ada yang maju, maka....
“Saya!”, ujarku
seraya berdiri. “Mio-san, biar aku saja. Aku malas berbasa-basi lagi.”, ucapku
jujur sambil berjalan menuju panggung di ruang kelas musik. “Oke..... Nyalimu
keren juga, Fukuda!”, jawab Mio-san. Aku meraih mic wireless dari tempat standingnya. Standingnya kuturunkan dari
panggung. Mio-san memainkan minus-one
lagunya dan ada video yang muncul di layar yang menjadi background panggung.
Aku-pun mulai
menghayati lagu. Dan ketika kumulai, semua terpana padaku. “Haiaiaiaiaia....
Haiiaaiiaia.... Haaaahahaa.... Haaahhhaaammmmhhmm... Yee...”, aku mulai bernyanyi
dengan melow.
”Saigo no kisu wa tabako no flavour aga shita
niga~kute setsunai kaori....”, lalu aku melanjutkan terus.......
“Ashitano ima goro niwa
Anatawa doko
ni irun darou dare wo
Omoterun darou....”, nadaku mulai
meningi, alih sopran bak opera. Aku bergaya DENGAN SANGAT MENGHAYATI.
“You are always gonna be the one
Itsuka
darekato matta koi ni ochitemon
I’ll remember to love you tought me how
You are
always gonna be my love
Mada kanashii love love song
Atarashii uta utaeru made....”, hingga usai.
“Oke!!! Kau
membawakan lagu ini dengan tepat!!!! First Love by Hikaru Utada! Tepat!!!”,
puji Mio-san. Tapi, aku benci, sangat benci jika aku dipuji oleh murid lain.
Mereka adalah penjilat.
***
Tap... Tap... Tap... Tap... Suara langkah
kaki itu mendekat kian kemari. Siapa? Mau apa? “Siapa...”, bisikku lirih hingga
terdengar seperti desis. “Ai...”, jawab suara itu. “Ai....” AI? AI? AI KATAMU? “Ai....
Ai... Ai.... Kemari.....”, lanjut suara itu. Ai itu.... “Ai... Kemarilah....
Ayo....” lanjut suara itu.... lagi. Aku memandang sekeliling. Gelap. Di mana?
Di mana aku? PATS! Tiba-tiba terang.
Aku menyipitkan mata. Taman bunga. Aku duduk di taman bunga. “Ai...”, aku
merinding. Ai... Hanya orang tertentu yang tahu siapa Ai sebenarnya.
Aikiko Fukuda
adalah Ai Mihara. Nama panggungku. Siapa!? “Ai Mihara... Mihara.... Mihara....
Ai....”
Aku menoleh.
“Siapa?”, tanyaku berdesis. “Kamu....”, lanjutku. Hanya angin sepoi berdesir.
Tak ada yang menjawab. Yang tahu rahasiaku hanyalah keluargaku saja. Saja?
Tidak. Ada.... Meiko Konohara dan Zora Hikaru. Masa.... Dia? (Seseorang,
pastinya) “Mei, kaukah itu?”, tanyaku. Dan..... “Ssss.....”, jawabnya. Aku
menoleh. Tak ada siapapun. Siapa? Siapa? Meiko-kah? Meiko...... Mengingatnya,
airmataku merebak. Siapa. “Kau.... menangis....”, sahut suara itu lagi. Aku
merinding.
“Bukan
salahmu.”, katanya lagi. Lama-lama, suara itu kukenal.... Aku benar. “Ai......
Stop cengeng..... Lama tak bertemu....”, lanjut suara itu. Meiko. Di depanku.
Aku berlari memeluknya. Eyepatch-ku
lepas. Kini, terlihatlah mataku yang satu lagi. Berambut pendek, ber-eyepatch, dan penyendiri adalah aku.
Mataku tidak berwarna sama. Yang tidak tertutup eyepatch berwarna merah. Semerah darah. Sedangkan yang satunya,
yang ber-eyepatch, berwarna biru,
sebiru laut.
“Mata birumu itu
tak dapat kusalahkan.”, ucap Meiko. “Ah, iya.... Kejadian itu, kan.... Aku
dianggap bersalah oleh orangtuaku. Oleh polisi juga. Para polisi telah
mengecapku sebagai anak yang berdosa serta tak mau mengakui kesalahan. Yang
salah adalah penjahat itu!”, seruku sambil berkaca-kaca sambil menahan tangis.
***
Hari itu, aku
dan Meiko bermain di sebuah taman bunga. Kami bercanda-ria, seolah tak ada di
beban di dunia ini. Kami tidur telentang sambil memandang langit biru dan awan
yang berarak..... “DOR!!!!”, tiba-tiba sebutir peluru mengenai mata kanan
sahabatku. Crat! “U-uh...
A..i....A....aku mati rasa.... Ai....”, erang Meiko. “Ah!”, aku mengeluarkan
kekuatan supranaturalku. “DOR!!!!”, sebutir peluru mengenai mata kiriku.
“Argh!”, aku mengerang. “Blue Tide
Knot.... open!!!”, kataku. Zrash!!!
Sebuah ombak menewaskan seorang penjahat. Dua orang lagi.
“Meiko! Aku tak
dapat mengalahkan mereka dengan sebelah mata saja!”
“Ambillah mata
kiriku....”, katanya dengan kesakitan.
“Jangan
bercanda!”
“Tidak....”
“Serius? Aku....
tak tega....”
“Ayolah....”
“Wizard Eye!”, kuucap mantra. Syut.... Blegh
“Mataku akan
selalu hidup....”, ucap Meiko. Dengan mata Meiko, aku memiliki kekuatan baru.
“Fire Tide from the Fire Ocean!”
Byrash! Tinggal seorang lagi. Ia mengambil
pistol dan menembak kakiku. DOR!!! Brugh!
Aku pingsan....
***
Hah! Itu hanya
mimpi? Aku bingung. Aku terbangun di kamar asramaku yang memuakkan. Aku
sendirian. Jam berapa ini? Kulihat jam berhenti berdetak. 03:30. Terjebak dalam
waktu, huh? Mengapa bisa?????
“Pergilah ke
masa lampau....”, Meiko berkata. “Aku akan selalu berada di sisimu, Ai...”
Kagetnya bukan main. Tetapi, semuanya berlangsung cepat. Hingga akhirnya, Meiko
yang ada di dalam dirikulah yang mengambil kendali tubuhku, seluruhnya. Walau
hanya sesaat.
“Paradise Time: To Past!”
WOSSH!!!!
“Jangan
bercanda!”
“Tidak....”
“Serius? Aku...
tak tega....”
“Ayolah....”
Itu..... Aku dan
Meiko! Tidak.... Ini tak boleh terulang lagi. Aku tahu urutan kejadian. Meiko
tewas, penjahat terakhir menembakku hingga pingsan, lalu ia membuatku
seolah-olah akulah pembunuh Meiko, bukan penjahat terakhir itu.
“Paradise Time: Stop!”, ujarku tanpa
sadar. Waktu berhenti, tepat saat aku akan mengambil mata Meiko. Aku pun
membunuh penjahat terahir itu, memanggil polisi, dan membuat “diriku masa lalu”
pingsan dan membatalkan mantranya
WOOSHH!!!!
Tiba-tiba aku
berada di kamarku, bukan di Aquila. Meiko tersenyum. Kami berdua berpelukan.
Hanya dengan 1 kalimat, 2 kata.
Kami sudah
tersenyum satu sama lain.
No comments:
Post a Comment