Entri Populer

Sunday, October 14, 2012

Bulan Biru



Bulan Biru


Malam itu, aku melihat melalui teleskop. Biru. Indah sekali. Purnama kedua dalam sebulan. Sangat jarang. Tik... tik.... tik... “Teng-ting-tong....”, jam dalam kamarku berbunyi. Aku terlonjak. Kulihat jam bandul tua peninggalan kakekku itu. Pukul 09.00 malam. Seekor burung hantu melewati teleskopku. Jendela kamarku memang terbuka. Flap, flap, flap. Ooh, ia mendapatkan mangsa seekor tikus yang malang. Burung hantu itu pun pergi menuju kepekatan malam.

Ku selesaikan lukisan ku agar sempurna. Aku meninggalkan teleskop berat ku. Aku menghampiri tempat duduk, meja tempat ku taruh peralatan lukis ku dan kanvas ku yang sudah hampir selesai. "Ck",gumamku.

Sebuah bulan biru bersinar memancarkan cahayanya yang mistis. Seorang gadis-bersiluet-menggunakan sebuah baju terusan, rok. Ia mengarahkan teleskopnya ke langit malam berwarna ungu. Aneh, indah, dan mistis, bukan?
Dan tentunya, langit ungu itu bertaburkan bintang. Bintang-bintang itu membentuk gugusan bintang. Bulan biru yang mistis.

Itulah gambar lukisanku. Sempurna. Aku membiarkannya, esok pagi baru akan aku cek. Aku meringkasi peralatan lukisku dan memasukkannya ke dalam tas lukisku.





Tiba-tiba ada SMS masuk di HPku. Ooh.... Dari Imel. Besok jangan lupa bawa lukisanmu!!!! Tidak lama kemudian, aku membalasnya, “OK, deh....” Lalu, aku menata buku pelajaranku untuk esok hari. Pelajaran pertama matematika. Kedua, akuntansi, lalu biologi, kimia, dan pelajaran kelima dan keenam kesenian. PR beres semua. Kulihat buku agendaku. PR biologi, kimia, dan matematika. Sudah semua. Tidak ada ulangan. Lalu, aku memasukkan buku sketch A4-ku ke dalam tas. Disusul oleh buku-buku pelajaranku yang lainnya.

Lalu aku kembali mengamati bulan biru. Untuk mengingat malam yang langka ini, aku merekamnya. Indah sekali... Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ooh... Ternyata, mamaku yang menyuruhku tidur. “Besok kamu pulang jam berapa?” “3” “OK. Sekarang tidurlah!”, ucap mamaku sambil menutup pintu. Kamarku pun hening.
***

Aku berjalan menuju bulan biru. Ajaib! Aku melayang-layang... Tapi!? Kok aku berkerudung!? Aku kan laki-laki! Tiba-tiba, aku telah sampai di bulan. Aku menembus atmosfernya. Biru. Semua berwarna biru.

Aku melayang-layang di atas permukaan air. Bening sekali. Aku mendengus. Entahlah mengapa aku mendengus. Hanyha ingin saja. Lalu, aku menunduk. Ada sebuah bayangan. Tiba-tiba kerudungku terbang. Angin menerpaku, menerpa wajah dan tubuhku. Air di bawahku beriak. Aku masih saja melayang-layang.

Tiba-tiba, aku dapat melihat sosok itu. Rambutnya panjang, warnanya hijau tosca. Rambut gadis itu melayang-layang di sekitarnya, agak bergelombang, juga agak lurus. Aku tidak bisa membedakannya. Gadis itu memakai dress merah dengan bolero hitam. Wajahnya putih seperti orang Jepang. Ia menatapku dingin.

Detik selanjutnya, ia tersenyum. Tidak, lebih tepatnya menyeringai. Tatapannya hangat lalu menjadi buas. Ia menginginkanku. Bukan, ia menginginkan sesuatu dariku. Tiba-tiba, air membeku di samping kananku. Aku menyadari, bahwa itu caranya berkomunikasi denganku. Es itu membentuk kata-kata. MILIKKU.

Apa maksudnya dengan MILIKKU? Es itu pun menghilang. Tiba-tiba, tangan gadis itu perlahan-lahan keluar dari air. Aku masih saja tetap melayang-layang. Tangannya menuju arahku. Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. Aku takut. Aku melotot ke arah gadis itu. Ia menyeringai dengan buas. Irisnya semerah darah bercampur dengan warna biru, sebiru laut. Mengerikan. Tangannya lapar, maksudku, tangannya berusaha menggapai-gapai diriku. Aku menjauh. “Tak ada gunanya kau berlari. Kau bahkan sama sekali tak mengenali tempat ini.”, tiba-tiba gadis itu berbicara. Suaranya seringan bulu, setajam silet, dan aku merasakan suaranya berada di dekatku. Instingku dan naluriku secara serempak berkata untuk menoleh. Alangkah kagetnya aku! Ia tepat berada di belakangku, melayang.

***

Aku terbangun dengan keringat dingin. Wajahku memucat, sepucat kapas. Bantal dan baju piyamaku basah karena peluh dinginku. Mimpi buruk. Untuk menenangkan diri, aku menuju dapur. Pukul berapa sekarang? Jam digital dapur berkedip. 04:40. Empat subuh. Aku membuat segelas susu cokelat hangat untuk diriku sendiri.

Asap mengepul-ngepul dari gelas plastikku. Aku menyeduhnya, lalu menambahkan sedikit susu sapi segar kedalamnya. Lalu, aku menyeduhnya lagi. Aku dengan buas langsung menenggaknya. Ada sensasi hangat menyebar di perutku. Hmmm..... Nikmat sekali. Kemudian, aku mengembalikan sekotak susu segar itu kedalam lemari es. Aku menyalakan keran air. Dingin sekali. Ujung jariku ngilu. Aku membeku. Sejumput rambut melayang di jendela dapur, membentuk tulisan yang telah kukenal, MILIKKU.


Aku merinding, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Apakah gadis itu? Apa dia memang nyata? Siapa sebenarnya gadis ini? Tiba-tiba ada tangan yang melambai. Karena kagetnya, aku menyiram air dingin itu keluar jendela. Aku melihat tangan itu menghilang, rambutnya perlahan-lahan menjadi dedaunan kering yang akhirnya terbang tertiup angin. Au terduduk di lantai dapur. Napasku tersengal-sengal. Jantungku masih berdebar-debar. Aku mulai mengatur napas.
***

“Imel!”, panggilku “Imel!” Aku menapakkan kakiku di gerbang sekolah. Imel belum juga menoleh. Aku menghampirinya lalu mecolek pundaknya. “Dari tadi?”, tanyanya “Barusan. Ini.”, kataku sambil menyodorkan lukisanku. Ia berdecak kagum “Sungguh ini karyamu?!”, tanyanya. “Bukan. Karya Picasso “, jawabku sewot. “Ooo.... Jelas saja.... Picasso sih, ya....” Saking sebalnya, aku merenggut lukisanku kembali lalu berjalan dengan sebal masuk ke dalam pekarangan sekolah.

“Ris! Tunggu!”, Imel mengejarku. “Bagus! Benar-benar seperti lukisan Picasso!!!!”, pujinya. “Terimakasih”, jawabku singkat. Hatiku masih ada rasa kesal, jadi aku meninggalkannya yang masih mengatur nafasnya. Aku memasukkan kembali lukisanku ke dalam tas.

“Hai, Ris”, sapa Vina padaku. Aku menoleh padanya. “Yo, Vin!”, balasku. “Kamu dapat tugas melukis, gak?
“Ya, kenapa?”, balasnya
“Oh, ya sudah”, kataku sambil berlalu, meninggalkan Vina yang masih terbengong-bengong.

Aku meletakkan tasku di lantai. Sambil menenteng bola basket, aku memantulkannya di lantai. MILIKKU. Tiba-tiba, kuteringat akan kata-kata itu. Aku melihat sekilas rambut gadis itu. Sepertinya, gadis itu baru saja lewat. Aku merinding. JDUAGH! Bola basketku memantul terlalu tinggi dan mengenai mukaku. “Sialan....”, gerutuku.

Tiba-tiba bel berbunyi. Aku pun berbaris dan memasukki kelas. Lalu, pelajaran pun dimulai.

***
“SELAMAT SIANG, PAK!”, ucap teman-teman sekelas serempak, memberi salam.
“Siang, anak-anak. Silahkan keluar PR kalian.”, Pak Bagyo, guru Kesenian memberikan perintah. “Jangan lupa, cantumkan nama-nama anggota kelompok kalian di belakang lukisan kalian dengan pensil. Di bagian belakang kanvas!”

Aku-pun mengeluarkan kanvasku, lalu mencantumkan namaku dan nama-nama temanku yang lain yang sekelompok denganku. Setelah itu, kanvas itu kuserahkan ke Pak Bagyo. Dan pelajaran-pun berjalan seperti biasa. Tetapi, sesuatu yang menggangguku hari ini. Gadis misterius itu. Bulan biru itu. Segalanya tentang hal itu.

Aku tak sabar lagi agar semua ini segera berakhir. Maksudku, aku tak sabar agar pelajaran hari ini segera berakhir.
***
“Ris! Oiii!!!!”, seseorang memanggilkan namaku. Siapa, ya? Aku menoleh. “Dio?”, gumamku. “Apa?”, teriakku. Ia tergopoh-gopoh mendatangiku. Dio memegang sesuatu di tangannya, lalu disodorkannya padaku. “Hosh.... Hosh.... Hosh... Dari.... Hh.... Hh.... Dari.. Gak tau siapa, udah ada di dalam tasku.”, Dio menjelaskan dengan tersengal-sengal. Aku menerimanya. Sebuah amplop. Aku membolak-balikkan amplop itu. Tidak ada nama pengirim sama sekali. Hanya ada tulisan orang yang dituju. Namaku. “Terimakasih, Di....”, aku ingin berterimakasih pada Dio, tapi dia sudah hilang bagai ditelan Bumi. “Ya sudahlah.”, gumamku sambil mengangkat bahu dan berbalik.
***
Aku merebahkan badanku di atas kasur. Kurogoh kantongku. Jari-jari tangan kananku meraba-raba isi kantong celanaku. Mencari sesuatu yang ada di dalam kantong celanaku, entah di sebelah mana. Tiba-tiba, ujung jariku menemukan sesuatu yang kasar. Surat. Selembar kertas. Aku pun mengambilnya. Surat misterius ini sudah kucel karena di dalam kantong celanaku. Tiba-tiba, hatiku berdebar-debar. Jariku gemetar. Hembusan napasku berubah menjadi embun. Seperti bernapas di hawa dingin.

Tiba-tiba gadis itu sudah di depanku. Badanku serasa terkunci. Tak bisa bergerak sama sekali. “Waktu akan kuberhentikan. Jadi, maukah kau ikut padaku?”, pintanya. “Baiklah...”, aku menyambut uluran tangannya. “Bawalah lukisan tentang bulan biru. Kau ada banyak, kan?”, mohon gadis itu, lagi. “..... Ummm.... Baiklah. Ayo, kalau begitu.”, sanggupku. Eh, aku menyanggupi. Aku membiarkannya memilih sendiri.

Sesaat, ia seperti mayat saat melihat sekilas cahaya matahari. “Kyaaa!”, suara jeritannya sedingin es. “Kumohon! Tutuplah! Tutup, kumohon.....”, pintanya. Segera, kututup jendela dan tirai di dalam kamarku. “Maaf.... Kau tak apa?”, ujarku
“Iya, terimakasih.”, jawabnya.
“Umm.... Dimana lukisanmu?”
“Di sana....”, tunjukku
“Terimakasih....”, ucapnya. Di depan pintu ruangan koleksi lukisanku yang kecil, ia ragu-ragu untuk membuka pintunya. “Ada cahanyah matahari tidak?”, tanyanya.
“Hahahaa....”, aku tertawa. “Tidak, tidak.... Lukisanku jika terkena cahaya matahari akan pudar.... Aku tak mungkin merusaknya, kan....”
“Umm... Baiklah...”, ia memegang kenop pintu itu, dan dalam sekejap ditelan gelapnya ruangan kecilku. Ternyata, ia mengambil lukisanku yang kuberi judul “Mendungnya Bulan Biru.” Tetpai, ia menukarnya dengan lukisan abstrakku berjudul, “Kebebasan Cahaya Bulan Biru”.

“Baiklah. Siapkan bekal yang kau perlukan. Setelan baju, makan, minum, alat lukis, dan yah.... semacamnya. Bawa di dalam ransel. Kamera juga.”, cerocosnya. “Bagaimana dengan waktunya!?”, aku berkata sambil menyiapkan. Dia duduk melayang-layang di kamarku. “Sudah kuberhentikan dari tadi.”
“Ooh....”, jawabku. “Yaph! I’m ready!”, seruku
“Pejamkan matamu....”, katanya lembut. Maka dari itulah kupejamkan mataku. Tapi.... “Ris!!!! Kamu mau ke mana?”, teriak seorang gadis.

Yuki Onna, itulah julukanku bagi gadis yang berasal dari Bulan. Yuki Onna terperanjat. Pelan-pelan, aku yang telah membuka mataku menoleh. Aku melongo. Yuki Onna melongo. Gadis itu berlari..... dan..... cengengesan melihatku melongo. “Tidak mungkin ada yang bisa menembus waktu...”, ujar Yuki Onna. “Dia... Dia memiliki gelang itu!”, tunjuk Yuki Onna, lagi.

“Akira!?”, pekikku
“Ya, Ris.... Kamu.... Mau ke mana?”, tanyanya. “Mm.... Bolehkah aku i....ikut?”
“Oh, tentu saja. Mm... Dia boleh ikut, kan?”, tanyaku pada Yuki Onna. Sejenak, Yuki Onna da Akira (sebenarnya, nama favoritnya, sih. Nama aslinya bukan Akira....) saling menatap. Aku hanya melihat mereka berdua saja. Akira menatap Yuki Onna dengan tatapan santai dan ekspresinya biasa. Yuki Onna menatap Akira dengan agak serius. Iris matanya yang semula berwarna biru tua kini beubah menjadi ungu dengan sedikit semburat warna biru laut. Dan, sepertinya, ada komunikasi secara telepati diantara kedua gadis ini.

“Baiklah, Akira. Nah, sekarang kalian berdua pejamkanlah mata. Bergandengan tangan. Pegang yang erat. Diam... Jangan mengeluarkan suara...”, jelas Yuki Onna. Sebelum aku dan Akira memejamkan mata, kami berdua bergandengan tangan, kemudian Akira meremas tanganku. Sepertinya, ia agak takut. Entahlah. Aku dan Akira memejamkan mata bersama. Di punggungku, tas ranselku sudah tersedia. Begitu juga dengan Akira. Tapi, aku heran, bagaimana dia tahu tentang hal ini? Seakan membaca pikiranku, ia berkata padaku, “intsing”.

Kemudian, aku merasakan angin kencang berhembus. “Buka matamu”, kata Yuki Onna pada kami berdua. Yeah, sebenarnya, aku dan Akira masih memakai seragam sekolah. Lengkap. Akira masih memakai roknya. Seragam kami berkemeja putih dan bawahannya biru. Di dada kanan terdapat jahitan nama masing-maisng. Di dada kiri terdapat kantong yang ada simbol sekolah kami yang dijahit.

“Aah.... Dimana ini?”, tanya Akira. Gadis itu terpesona. Di depan kami berdua, Yuki Onna berdiri. “Perkenanlah aku untuk memberi sambutan singkat pada kalian berdua.”, kata Yuki Onna.

“Aku bernama Latvy Zourage. Kalian bisa memanggilku Latvy, tapi, aku lebih suka dipanggil Zou. Aku seorang putri di sini. Yuki Onna. Selamat datang di Bulan Biru.”, jelas Latvy, eh, Zou panjang lebar. Zou telah berubah wujud menjadi seperti gambar di bawah ini.

“Jadi, untuk apa sebenarnya kau—“, tanyaku. Memang belum selesai langsung dipotong oleh Zou.
“Adikku...... Tolonglah adikku. Namanya Winda Zougare. Winda.... Telah terbelenggu oleh.... oleh.... mantra. Surat yang kuberi padamu, Ris. Itu di dalamnya ada selembar kertas. Di atas kertas itu... Ada sebuah mantra. Kami biasa menyebutnya dengan mantra serba bisa. Memang, mantra itu serba bisa untuk apa saja.

Dahulu, adikku membaca mantra itu, tapi entah apa yang dipikirkannya, ia menyebut.... ‘Kristalisasi’. Ia pun terbelenggu oleh mantra itu sendiri, mantra yang diucapkannya sendiri.

Cara menggunakan mantra itu adalah dengan membacanya kemudian pikirkan apa yang kau inginkan sambil mengucapkan apa yang kau pikirkan itu. Pikirkan secara penuh konsentrasi serta fokus.

Aku sebagai seorang kakak merasa....


Ikutilah terus update cerpen ini! ^^

No comments:

Post a Comment