Bulan Biru
Malam itu, aku melihat melalui
teleskop. Biru. Indah sekali. Purnama kedua dalam sebulan. Sangat jarang. Tik... tik.... tik...
“Teng-ting-tong....”, jam dalam kamarku berbunyi. Aku terlonjak. Kulihat jam
bandul tua peninggalan kakekku itu. Pukul 09.00 malam. Seekor burung hantu
melewati teleskopku. Jendela kamarku memang terbuka. Flap, flap, flap. Ooh, ia mendapatkan mangsa seekor tikus yang
malang. Burung hantu itu pun pergi menuju kepekatan malam.
Ku selesaikan
lukisan ku agar sempurna. Aku meninggalkan teleskop berat ku. Aku menghampiri
tempat duduk, meja tempat ku taruh peralatan lukis ku dan kanvas ku yang sudah
hampir selesai. "Ck",gumamku.
Sebuah bulan
biru bersinar memancarkan cahayanya yang mistis. Seorang
gadis-bersiluet-menggunakan sebuah baju terusan, rok. Ia mengarahkan
teleskopnya ke langit malam berwarna ungu. Aneh, indah, dan mistis, bukan?
Dan tentunya, langit ungu itu bertaburkan bintang. Bintang-bintang itu membentuk gugusan bintang. Bulan biru yang mistis.
Dan tentunya, langit ungu itu bertaburkan bintang. Bintang-bintang itu membentuk gugusan bintang. Bulan biru yang mistis.
Itulah gambar
lukisanku. Sempurna. Aku membiarkannya, esok pagi baru akan aku cek. Aku
meringkasi peralatan lukisku dan memasukkannya ke dalam tas lukisku.
Tiba-tiba ada SMS masuk di HPku. Ooh.... Dari Imel. Besok jangan lupa bawa lukisanmu!!!! Tidak lama kemudian, aku membalasnya, “OK, deh....” Lalu, aku menata buku pelajaranku untuk esok hari. Pelajaran pertama matematika. Kedua, akuntansi, lalu biologi, kimia, dan pelajaran kelima dan keenam kesenian. PR beres semua. Kulihat buku agendaku. PR biologi, kimia, dan matematika. Sudah semua. Tidak ada ulangan. Lalu, aku memasukkan buku sketch A4-ku ke dalam tas. Disusul oleh buku-buku pelajaranku yang lainnya.
Lalu aku
kembali mengamati bulan biru. Untuk mengingat malam yang langka ini, aku
merekamnya. Indah sekali... Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ooh... Ternyata,
mamaku yang menyuruhku tidur. “Besok kamu pulang jam berapa?” “3” “OK. Sekarang
tidurlah!”, ucap mamaku sambil menutup pintu. Kamarku pun hening.
***
Aku berjalan
menuju bulan biru. Ajaib! Aku melayang-layang... Tapi!? Kok aku berkerudung!?
Aku kan laki-laki! Tiba-tiba, aku telah sampai di bulan. Aku menembus
atmosfernya. Biru. Semua berwarna biru.
Aku
melayang-layang di atas permukaan air. Bening sekali. Aku mendengus. Entahlah
mengapa aku mendengus. Hanyha ingin saja. Lalu, aku menunduk. Ada sebuah
bayangan. Tiba-tiba kerudungku terbang. Angin menerpaku, menerpa wajah dan
tubuhku. Air di bawahku beriak. Aku masih saja melayang-layang.

Detik
selanjutnya, ia tersenyum. Tidak, lebih tepatnya menyeringai. Tatapannya hangat
lalu menjadi buas. Ia menginginkanku. Bukan, ia menginginkan sesuatu dariku.
Tiba-tiba, air membeku di samping kananku. Aku menyadari, bahwa itu caranya
berkomunikasi denganku. Es itu membentuk kata-kata. MILIKKU.
Apa maksudnya
dengan MILIKKU? Es itu pun menghilang. Tiba-tiba, tangan gadis itu
perlahan-lahan keluar dari air. Aku masih saja tetap melayang-layang. Tangannya
menuju arahku. Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. Aku takut. Aku melotot ke
arah gadis itu. Ia menyeringai dengan buas. Irisnya semerah darah bercampur
dengan warna biru, sebiru laut. Mengerikan. Tangannya lapar, maksudku,
tangannya berusaha menggapai-gapai diriku. Aku menjauh. “Tak ada gunanya kau
berlari. Kau bahkan sama sekali tak mengenali tempat ini.”, tiba-tiba gadis itu
berbicara. Suaranya seringan bulu, setajam silet, dan aku merasakan suaranya
berada di dekatku. Instingku dan naluriku secara serempak berkata untuk
menoleh. Alangkah kagetnya aku! Ia tepat berada di belakangku, melayang.
***
Aku terbangun dengan keringat dingin.
Wajahku memucat, sepucat kapas. Bantal dan baju piyamaku basah karena peluh
dinginku. Mimpi buruk. Untuk menenangkan diri, aku menuju dapur. Pukul berapa
sekarang? Jam digital dapur berkedip. 04:40. Empat subuh. Aku membuat segelas
susu cokelat hangat untuk diriku sendiri.
Asap mengepul-ngepul dari gelas plastikku. Aku menyeduhnya, lalu menambahkan sedikit susu sapi segar kedalamnya. Lalu, aku menyeduhnya lagi. Aku dengan buas langsung menenggaknya. Ada sensasi hangat menyebar di perutku. Hmmm..... Nikmat sekali. Kemudian, aku mengembalikan sekotak susu segar itu kedalam lemari es. Aku menyalakan keran air. Dingin sekali. Ujung jariku ngilu. Aku membeku. Sejumput rambut melayang di jendela dapur, membentuk tulisan yang telah kukenal, MILIKKU.
Aku merinding, dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Apakah gadis itu? Apa dia memang nyata? Siapa sebenarnya gadis ini?
Tiba-tiba ada tangan yang melambai. Karena kagetnya, aku menyiram air dingin
itu keluar jendela. Aku melihat tangan itu menghilang, rambutnya perlahan-lahan
menjadi dedaunan kering yang akhirnya terbang tertiup angin. Au terduduk di
lantai dapur. Napasku tersengal-sengal. Jantungku masih berdebar-debar. Aku
mulai mengatur napas.
***
“Imel!”, panggilku
“Imel!” Aku menapakkan kakiku di gerbang sekolah. Imel belum juga menoleh. Aku
menghampirinya lalu mecolek pundaknya. “Dari tadi?”, tanyanya “Barusan. Ini.”,
kataku sambil menyodorkan lukisanku. Ia berdecak kagum “Sungguh ini karyamu?!”,
tanyanya. “Bukan. Karya Picasso “, jawabku sewot. “Ooo.... Jelas saja....
Picasso sih, ya....” Saking sebalnya, aku merenggut lukisanku kembali lalu
berjalan dengan sebal masuk ke dalam pekarangan sekolah.
“Ris! Tunggu!”,
Imel mengejarku. “Bagus! Benar-benar seperti lukisan Picasso!!!!”, pujinya.
“Terimakasih”, jawabku singkat. Hatiku masih ada rasa kesal, jadi aku
meninggalkannya yang masih mengatur nafasnya. Aku memasukkan kembali lukisanku
ke dalam tas.
“Hai, Ris”, sapa
Vina padaku. Aku menoleh padanya. “Yo, Vin!”, balasku. “Kamu dapat tugas
melukis, gak?
“Ya, kenapa?”,
balasnya
“Oh, ya sudah”,
kataku sambil berlalu, meninggalkan Vina yang masih terbengong-bengong.
Aku meletakkan
tasku di lantai. Sambil menenteng bola basket, aku memantulkannya di lantai. MILIKKU. Tiba-tiba, kuteringat akan
kata-kata itu. Aku melihat sekilas rambut gadis itu. Sepertinya, gadis itu baru
saja lewat. Aku merinding. JDUAGH!
Bola basketku memantul terlalu tinggi dan mengenai mukaku. “Sialan....”,
gerutuku.
Tiba-tiba bel
berbunyi. Aku pun berbaris dan memasukki kelas. Lalu, pelajaran pun dimulai.
***
“SELAMAT SIANG,
PAK!”, ucap teman-teman sekelas serempak, memberi salam.
“Siang, anak-anak.
Silahkan keluar PR kalian.”, Pak Bagyo, guru Kesenian memberikan perintah. “Jangan
lupa, cantumkan nama-nama anggota kelompok kalian di belakang lukisan kalian
dengan pensil. Di bagian belakang kanvas!”
Aku-pun
mengeluarkan kanvasku, lalu mencantumkan namaku dan nama-nama temanku yang lain
yang sekelompok denganku. Setelah itu, kanvas itu kuserahkan ke Pak Bagyo. Dan
pelajaran-pun berjalan seperti biasa. Tetapi, sesuatu yang menggangguku hari
ini. Gadis misterius itu. Bulan biru itu. Segalanya tentang hal itu.
Aku tak sabar lagi
agar semua ini segera berakhir. Maksudku, aku tak sabar agar pelajaran hari ini
segera berakhir.
***
“Ris! Oiii!!!!”,
seseorang memanggilkan namaku. Siapa, ya? Aku menoleh. “Dio?”, gumamku. “Apa?”,
teriakku. Ia tergopoh-gopoh mendatangiku. Dio memegang sesuatu di tangannya,
lalu disodorkannya padaku. “Hosh.... Hosh.... Hosh... Dari.... Hh.... Hh....
Dari.. Gak tau siapa, udah ada di dalam tasku.”, Dio menjelaskan dengan
tersengal-sengal. Aku menerimanya. Sebuah amplop. Aku membolak-balikkan amplop
itu. Tidak ada nama pengirim sama sekali. Hanya ada tulisan orang yang dituju.
Namaku. “Terimakasih, Di....”, aku ingin berterimakasih pada Dio, tapi dia
sudah hilang bagai ditelan Bumi. “Ya sudahlah.”, gumamku sambil mengangkat bahu
dan berbalik.
***
Aku merebahkan
badanku di atas kasur. Kurogoh kantongku. Jari-jari tangan kananku meraba-raba
isi kantong celanaku. Mencari sesuatu yang ada di dalam kantong celanaku, entah
di sebelah mana. Tiba-tiba, ujung jariku menemukan sesuatu yang kasar. Surat.
Selembar kertas. Aku pun mengambilnya. Surat misterius ini sudah kucel karena di
dalam kantong celanaku. Tiba-tiba, hatiku berdebar-debar. Jariku gemetar.
Hembusan napasku berubah menjadi embun. Seperti bernapas di hawa dingin.
Tiba-tiba gadis itu
sudah di depanku. Badanku serasa terkunci. Tak bisa bergerak sama sekali. “Waktu
akan kuberhentikan. Jadi, maukah kau ikut padaku?”, pintanya. “Baiklah...”, aku
menyambut uluran tangannya. “Bawalah lukisan tentang bulan biru. Kau ada
banyak, kan?”, mohon gadis itu, lagi. “..... Ummm.... Baiklah. Ayo, kalau
begitu.”, sanggupku. Eh, aku menyanggupi. Aku membiarkannya memilih sendiri.
Sesaat, ia seperti
mayat saat melihat sekilas cahaya matahari. “Kyaaa!”, suara jeritannya sedingin
es. “Kumohon! Tutuplah! Tutup, kumohon.....”, pintanya. Segera, kututup jendela
dan tirai di dalam kamarku. “Maaf.... Kau tak apa?”, ujarku
“Iya, terimakasih.”,
jawabnya.
“Umm.... Dimana
lukisanmu?”
“Di sana....”,
tunjukku
“Terimakasih....”,
ucapnya. Di depan pintu ruangan koleksi lukisanku yang kecil, ia ragu-ragu
untuk membuka pintunya. “Ada cahanyah matahari tidak?”, tanyanya.
“Hahahaa....”, aku
tertawa. “Tidak, tidak.... Lukisanku jika terkena cahaya matahari akan
pudar.... Aku tak mungkin merusaknya, kan....”

“Baiklah. Siapkan
bekal yang kau perlukan. Setelan baju, makan, minum, alat lukis, dan yah....
semacamnya. Bawa di dalam ransel. Kamera juga.”, cerocosnya. “Bagaimana dengan
waktunya!?”, aku berkata sambil menyiapkan. Dia duduk melayang-layang di
kamarku. “Sudah kuberhentikan dari tadi.”
“Ooh....”, jawabku.
“Yaph! I’m ready!”, seruku
“Pejamkan
matamu....”, katanya lembut. Maka dari itulah kupejamkan mataku. Tapi.... “Ris!!!!
Kamu mau ke mana?”, teriak seorang gadis.
Yuki Onna, itulah julukanku bagi gadis yang berasal dari Bulan.
Yuki Onna terperanjat. Pelan-pelan, aku yang telah membuka mataku menoleh. Aku
melongo. Yuki Onna melongo. Gadis itu berlari..... dan..... cengengesan
melihatku melongo. “Tidak mungkin ada yang bisa menembus waktu...”, ujar Yuki
Onna. “Dia... Dia memiliki gelang itu!”, tunjuk Yuki Onna, lagi.
“Akira!?”, pekikku
“Ya, Ris....
Kamu.... Mau ke mana?”, tanyanya. “Mm.... Bolehkah aku i....ikut?”
“Oh, tentu saja.
Mm... Dia boleh ikut, kan?”, tanyaku pada Yuki Onna. Sejenak, Yuki Onna da
Akira (sebenarnya, nama favoritnya, sih. Nama aslinya bukan Akira....) saling
menatap. Aku hanya melihat mereka berdua saja. Akira menatap Yuki Onna dengan
tatapan santai dan ekspresinya biasa. Yuki Onna menatap Akira dengan agak
serius. Iris matanya yang semula berwarna biru tua kini beubah menjadi ungu
dengan sedikit semburat warna biru laut. Dan, sepertinya, ada komunikasi secara
telepati diantara kedua gadis ini.
“Baiklah, Akira.
Nah, sekarang kalian berdua pejamkanlah mata. Bergandengan tangan. Pegang yang
erat. Diam... Jangan mengeluarkan suara...”, jelas Yuki Onna. Sebelum aku dan
Akira memejamkan mata, kami berdua bergandengan tangan, kemudian Akira meremas
tanganku. Sepertinya, ia agak takut. Entahlah. Aku dan Akira memejamkan mata
bersama. Di punggungku, tas ranselku sudah tersedia. Begitu juga dengan Akira.
Tapi, aku heran, bagaimana dia tahu tentang hal ini? Seakan membaca pikiranku,
ia berkata padaku, “intsing”.
Kemudian, aku
merasakan angin kencang berhembus. “Buka matamu”, kata Yuki Onna pada kami
berdua. Yeah, sebenarnya, aku dan Akira masih memakai seragam sekolah. Lengkap.
Akira masih memakai roknya. Seragam kami berkemeja putih dan bawahannya biru.
Di dada kanan terdapat jahitan nama masing-maisng. Di dada kiri terdapat
kantong yang ada simbol sekolah kami yang dijahit.
“Aah.... Dimana
ini?”, tanya Akira. Gadis itu terpesona. Di depan kami berdua, Yuki Onna
berdiri. “Perkenanlah aku untuk memberi sambutan singkat pada kalian berdua.”,
kata Yuki Onna.
“Aku bernama Latvy
Zourage. Kalian bisa memanggilku Latvy, tapi, aku lebih suka dipanggil Zou. Aku
seorang putri di sini. Yuki Onna. Selamat datang di Bulan Biru.”, jelas Latvy,
eh, Zou panjang lebar. Zou telah berubah wujud menjadi seperti gambar di bawah ini.
“Adikku......
Tolonglah adikku. Namanya Winda Zougare. Winda.... Telah terbelenggu oleh....
oleh.... mantra. Surat yang
kuberi padamu, Ris. Itu di dalamnya ada selembar kertas. Di atas kertas itu...
Ada sebuah mantra. Kami biasa menyebutnya dengan mantra serba bisa. Memang,
mantra itu serba bisa untuk apa saja.
Dahulu, adikku
membaca mantra itu, tapi entah apa yang dipikirkannya, ia menyebut.... ‘Kristalisasi’.
Ia pun terbelenggu oleh mantra itu sendiri, mantra yang diucapkannya sendiri.
Cara menggunakan
mantra itu adalah dengan membacanya kemudian pikirkan apa yang kau inginkan
sambil mengucapkan apa yang kau pikirkan itu. Pikirkan secara penuh konsentrasi
serta fokus.
Aku sebagai seorang
kakak merasa....

Ikutilah terus update cerpen ini! ^^
No comments:
Post a Comment